Data menyebutkan bahwa jumlah dalam pemilih Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu 2024 sebanyak 204.807.222 pemilih. Artinya jumlah tersebut memiliki potensi yang besar terhadap munculnya polarisasi pemilih dalam sebelum menentukan pilihan di hari H nanti.
Jumlah generasi milenial 68.822.389 orang atau mereka yang lahir pada tahun 1981-1996. Ditambah generasi Z berjumlah 46.800.161 orang dan lahir di tahun 1997-2012. Kalau ditotal jumlah untuk 2 gen ini mencapai 115.622.550 orang. Artinya jumlah ini memiliki total hingga 56,4 persen.
Besarnya jumlah pemilih di dua generasi itu akan sangat signifikan dalam menentukan pemimpin negeri ini. Masifnya dunia maya khususnya digitalisai media menjadi sangat krusial untuk dipahami generasi ini.
Pemahaman literasi dgital pada momentum pemilu ini menjadi taruhan untuk menentukan masa depan bangsa ini.
Bagaimana tidak, hampir setiap detik mereka diterpa oleh maraknya informasi tanpa henti. Oleh karena, diharapkan mereka memiliki keterampilan literasi digital tetap mampu berpikir kritis di tengah maraknya polarisasi politik di media digital khususnya media sosial.
Kritis dapat diimplemantasikan dengan lebih teliti, dan dicermati dengan seksama. Terlebih dapat melakukan elaborasi atas apa yang dipaparkan oleh para politisi selama ini.
Kita sadar bahwa dua generasi ini lahir dan hidup sangat dekat dengan teknologi informasi. Artinya lebih fleksibel dan melihat lebih dalam literasi yang berkaitan dengan dunia digital. Generasi ini dipastikan memiliki kemampuan dan kecepatan yang jauh berbeda dari generasi yang lain seperti generasi pre boomer, baby boomer bahkan mampu bersaing dengan generasi X.
Harapan besar tentunya mereka dapat memanfaatkannya lebih jauh, dan menjadikannya sebagai sarana untuk mendeteksi kebenaran dalam polarisasi politik yang terjadi.
Paling tidak mampu memproteksi diri atau melakukan screening atas konten-konten yang direproduksi dengan cara negatif. Dan bahkan dengan memahami modus-modus yang menyesatkan atau misleading. Seperti yang terjadi belakangan ini dengan cara memutarbalikkan fakta. Dan itu hanya dapat disikapi dengan sikap kritis dan pemahaman literasi digital yang memadai.
Tetap kritis terhadap penyebaran hoaks dan ujaran kebencian atau sejenisnya yang masih berkembang. Disisi lain juga harus mampu menganalisis praktik-praktik atas persepsi yang sudah dibangun.
Konten-konten yang beredar melalui media mainstream dan media alternatif lainnya juga masih marak, dan itu juga harus menjadi perhatian serius.
Agus Triyono
Dosen Ilmu Komunikasi, Universitas Dian Nuswantoro Semarang