Agus Triyono, Dosen Ilmu Komunikasi UDINUS, Litbang Mafindo
Pemilihan kepala daerah (pilkada) sebentar lagi akan digelar. Pemilihan secara secara langsung oleh rakyat ini sebagai perwujudan kedaulatan rakyat yang diharapkan menghasilkan pemerintahan demokratis sesuai amanat Pancasila dan UUD 1945. Penyelenggaraan pilkada secara LUBER (Langsung, Umum, Bebas , Rahasia), JURDIL (jujur, dan adil) dapat terlaksana jika dilakukan dengan pondasi integritas, profesionalitas, dan akuntabilitas oleh penyelenggara pemilu secara baik.
Diketahui, Indonesia telah menyelenggarakan lima kali pemilu legislatif dan empat kali pemilu presiden pasca reformasi. Diawali tahun 1999, 2004,2009, 2014, dan 2019. Dan pada tahun ini akan memasuki periode ke 6 tahun. Pada awal pelaksanaan pemilu serentak pertama pada tahun 2019, merupakan penggabungkan pemilihan Anggota DPR, DPD, dan DPRD serta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Pada tahun 2019, penyelenggaraan dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). UU Pemilu ini menyederhanakan dan menyelaraskan beberapa pengaturan pemilu dalam satu undang-undang. Pengaturan pemilu yang disatukan tersebut adalah: UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, UU Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, dan UU Nomor 8 tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD.
Berdasar Peraturan Komisi Peraturan Umum (PKPU) No. 8 tahun 2024 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Walikota, tanggal 27 Agustus mendatang, pendaftaran sudah mulai dibuka. Perhelatan sebentar lagi akan dilakukan, dan hal itu diperlukan sebuah antisipasi kerawanan yang akan munculnya melalui berbagai sumber. Salah satunya melalui platform internet dengan banyak konten seperti hasutan kebencian, hoak, narasi negatif dan sebagainya.
Berbagai potensi kerawanan dari platform digital ini mestinya menjadi perhatian khusus bagi semua stakeholder untuk mewujudkan pilkada yang sesuai harapan. Selain penyelenggara pemilu sebagai leading sektor,aparat, organisasi masyarakat, perguruan tinggi, tokoh agama, tokoh masyarakat, penggiat digital dan semua pihak mestinya memiliki tanggung jawab dan berkontribusi keberhasilan pesta demokrasi tersebut.
Strategi Prebunking dan Kolaborasi, Edukasi, Informasi
Prebunking merupakan upaya mencegah sebelum disinformasi atau hoaks itu muncul. Artinya bahwa wujud prebunking dapat diimplementasikan dalam bentuk karya melalui tindakan proaktif yang dilakukan sebelum hoaks menyebar luas di masyarakat.
Prebunking adalah proses menyanggah kebohongan, taktik, atau sumber sebelum hal tersebut terjadi. Karena pencegahan lebih berdampak dari pada pengobatan. “The process of debunking lies, tactics or sources before they strike,” because prevention is more impactful than cure” (Garcia,2015).
Artinya adalah proses membongkar kebohongan taktik atau sumber sebelum informasi keliru menyerang. Berkaca dari pelaksanaan pemilu periode lalu, hoak juga sudah mewarnai sepanjang pelaksanaan pemilu. Ada beberapa catatan atas sosialisasi dalam rangka mempertahankan dan atau meningkatkan partisipasi masyarakat pemilu.
Melalui Prebunking inilah strategi pencegahan dapat diterapkan menghadapi penyebaran informasi palsu atau hoaks. Dengan kata lain, sebelum informasi palsu tersebut menyebar semakin luas dan dipercayai, masyarakat sudah mendapatkan informasi tentang hoaks yang ditimbulkannya. Dengan harapan, masyarakat memiliki pemahaman yang lebih terkait dengan tentang topik tersebut dan tidak percaya begitu saja informasi palsu yang akan berkembang di waktu-waktu mendatang.
Oleh karenanya, informasi yandisajika dalam prebunking adalah benar dan fakta yang dapat dipertanggungjawabkan. Dan disampaikan secara jelas dan meyakinkan kepada masyarakat sebelum mereka terpapar hoaks. Pendekatan ini berfokus pada pemberdayaan individu dengan pemahaman yang kuat tentang topik tertentu, sehingga masyarakat lebih mampu mengidentifikasi dan menghindari informasi yang tidak benar.
Berkaca dari pelaksanaan pemilu periode lalu, hoak juga sudah mewarnai sepanjang pelaksanaan pemilu. Ada beberapa catatan atas sosialisasi dalam rangka mempertahankan dan atau meningkatkan partisipasi masyarakat pemilu. Namun demikian, Prebunking dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa unsur yakni kolaborasi, edukasi dan informasi.
Melakukan kolaborasi dan sosialisasi dengan berbagai stakeholders menjadi sebuah keharusan dalam proses pemilu. Bukan saja tugas Komisi Pemilihan Umum (KPU), tetapi juga seluruh elemen pemangku kebijakan. Bawaslu sebagai mitra penyelenggara, partai politik sebagai peserta pemilu, pemerintah, akademisi, lembaga dan organisasi masyarakat termasuk insan media turut mempunyai andil dalam memberikan sosialisasi pemilu kepada masyarakat.
Tingginya angka partisipasi pada pemilu lalu juga bukan tanpa catatan, mengingat pertama masih tingginya angka surat suara tidak sah. Tercatat DI KPU, untuk pemilu presiden dan wakil presiden saja ada 3.754.905 surat suara tidak sah, termasuk 68.757 surat suara untuk luar negeri yang mengalami hal serupa. Dan untuk pemilu DPR RI suara tidak sahnya sangat tinggi yaitu di angka 17.503.953. Kedua adalah tantangan letak geografis sebagian wilayah yang sulit dijangkau. Jika sosialisasi hanya dibebankan kepada KPU, tentu membuat tidak semua wilayah dapat tersambangi. Sehingga memungkinkan beberapa wilayah yang letak geografisnya sulit dijangkau seperti wilayah pesisir, kepulauan dan daerah yang masih terisolir karena minim fasilitas infrastruktur tidak dapat dijangkau. Sosialisasi tentang cara mencoblos yang benar perlu ditegaskan lagi. KPU dan peserta pemilu baik perseorangan maupun partai politik juga harus memperbanyak sosialisasi, sehingga masyarakat tidak “rugi” telah datang ke TPS namun suaranya tidak sah. Partisipasi tidak hanya menitik beratkan pada angka jumlah pemilih yang datang ke TPS. Tetapi juga proses demokrasi lima tahunan ini dapat berjalan dengan damai. Perlu adanya edukasi kepada pemilih agar tidak mempermasalahkan perbedaan pilihan yang dimilikinya dengan orang lain. Dengan prinsip semacam ini maka otomatis akan menekan polarisasi yang terjadi di masyarakat. Melalui kolaborasi dengan inilah diharapkan mampu membuat langkah prebunking ini menjadi sarana penyampaian informasi yang memenuhi harapan masyarakat Indonesia.
Berikutnya edukasi, tentu menyadarkan masyarakat pentingnya menyalurkan hak pilih dengan datang ke TPS. Semakin tinggi angka partisipasi masyarakat maka semakin representatif pemimpin yang dihasilkan. Pendidikan pemilih lainnya agar masyarakat mampu menyikapi hoaks atau berita bohong serta memahami perlunya menolak politik uang. Di beberapa tempat yang tingkat partisipasinya rendah banyak disebabkan karena masyarakat lebih mementingkan aktivitas sosialnya ketimbang menyempatkan diri datang ke TPS. Sebelum mereka mendapat asupan informasi negatif tentang penyaluran hak pilih di TPS, diperlukan informasi positif akan pentingnya suara yang menentukan untuk kemajuan daerah.
Berikutnya adalah Informasi. Tentu soal informasi yang harus mampu menjangkau seluruh masyarakat khususnya pemilih. Pertama, masyarakat mesti mengetahui bahwa tahapan Pemilu harus berjalan sesuai aturan yang berlaku. Dan untuk menyalurkan hak pilih mesti terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT). Masyarakat yang telah bersyarat harus memiliki kepastian bahwa dirinya terdaftar dalam DPT. Kedua, informasi yang mesti sampai kepada masyarakat adalah jenis pemilihan yang akan digelar dan peserta pemilu. Jika pemilu dilakukan serentak seperti misalnya Pilkada, maka informasi akan hal tersebut harus disampaikan secara cukup informasi. Begitu juga dengan calon kepala daerah sebagai pesertanya. Calon-calon yang menjadi peserta Pilkada tersebut juga harus segera disosialisasikan pada seluruh lapisan masyarakat.
Hal itu bisa melibatkan seluruh elemen dan stakeholders yang terkait. Pada akhirnya semua tahapan yang sedang berjalan tentu penting untuk diketahui sehingga mampu menggerakkan pemilih untuk hadir nantinya ke TPS. Partisipasi masyarakat dalam pemilu tentu tidak hanya pada saat hari H pemilu. Tetapi juga partisipasi dalam melibatkan diri sebagai bagian dari penyelenggara maupun peserta pemilu itu sendiri. Dan hal itu harus disampaikan lebih awal sebelum konten-konten hoak menyerang mereka.
Strategi Prebunking dengan kolaborasi,edukasi dan informasi yang bisa menyasar semua kelompok pemilih menjadi sebuah keniscayaan untuk dilakukan. Setidaknya karya tersebut mampu menyasar di banyak generasi. Sesuai data di KPU, potensi kalangan pre-boomer yang lahir sebelum 1945 (3.570.850),baby boomer yang lahir (1946-1964) sebanyak 28.127.340, Gen X (1965-1980) sebanyak 57.486.482, Gen mileniial (1981-1996) sebanyak 68.822.389, Gen Z (1997-2012) sebanyak 46.800.161, dibawah 17 tahun (sudah menikah) berjumlah 6.697. Generasi-generasi tersebut berpotensi menjadi sasaran informasi palsu, hoak, hasutan dan lainnya. Tentu dibutuhkan format untuk prebunking yang disesuaikan dengan generasi mereka, termasuk distribusi informasinya yang mudah diterima oleh mereka. Generasi yang berbeda dengan perlakuan berbeda pula. Terpenting adalah bagaimana mampu berkontribusi untuk melakukan literasi pada generasi-generasi itu lebih bijak dalam menggunakan hak pilih secara baik. Dan terakhir, adalah mampu secara cerdas dan bijak dengan melakukan cek dan ricek atas informasi yang diterimanya melalui berpikir kritis serta tidak terpapar informasi yang menyesatkan(*)